Habis Gelap Terbitlah Terang, itulah judul buku dari
kumpulan surat-surat Raden Ajeng Kartini yang terkenal. Surat-surat yang
dituliskan kepada sahabat-sahabatnya di negeri Belanda itu kemudian menjadi
bukti betapa besarnya keinginan dari seorang Kartini untuk melepaskan kaumnya
dari diskriminasi yang sudah membudaya pada zamannya.
Buku itu menjadi pedorong semangat para wanita Indonesia
dalam memperjuangkan hak-haknya. Perjuangan Kartini tidaklah hanya tertulis di
atas kertas tapi dibuktikan dengan mendirikan sekolah gratis untuk anak gadis
di Jepara dan Rembang.
Upaya dari puteri seorang Bupati Jepara ini telah membuka
penglihatan kaumnya di berbagai daerah lainnya. Sejak itu sekolah-sekolah
wanita lahir dan bertumbuh di berbagai pelosok negeri. Wanita Indonesia pun
telah lahir menjadi manusia seutuhnya.
Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20,
wanita-wanita negeri ini belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Mereka
belum diijinkan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria bahkan
belum diijinkan menentukan jodoh/suami sendiri, dan lain sebagainya.
Kartini yang merasa tidak bebas menentukan pilihan bahkan
merasa tidak mempunyai pilihan sama sekali karena dilahirkan sebagai seorang
wanita, juga selalu diperlakukan beda dengan saudara maupun teman-temannya yang
pria, serta perasaan iri dengan kebebasan wanita-wanita Belanda, akhirnya
menumbuhkan keinginan dan tekad di hatinya untuk mengubah kebiasan kurang baik
itu.

Dia hanya sempat memperoleh pendidikan sampai E.L.S.
(Europese Lagere School) atau tingkat sekolah dasar. Setamat E.L.S, Kartini pun
dipingit sebagaimana kebiasaan atau adat-istiadat yang berlaku di tempat
kelahirannya dimana setelah seorang wanita menamatkan sekolah di tingkat
sekolah dasar, gadis tersebut harus menjalani masa pingitan sampai tiba saatnya
untuk menikah.
Merasakan hambatan demikian, Kartini remaja yang banyak
bergaul dengan orang-orang terpelajar serta gemar membaca buku khususnya
buku-buku mengenai kemajuan wanita seperti karya-karya Multatuli “Max Havelaar”
dan karya tokoh-tokoh pejuang wanita di Eropa, mulai menyadari betapa
tertinggalnya wanita sebangsanya bila dibandingkan dengan wanita bangsa lain
terutama wanita Eropa.
Dia merasakan sendiri bagaimana ia hanya diperbolehkan
sekolah sampai tingkat sekolah dasar saja padahal dirinya adalah anak seorang
Bupati. Hatinya merasa sedih melihat kaumnya dari anak keluarga biasa yang
tidak pernah disekolahkan sama sekali.
Sejak saat itu, dia pun berkeinginan dan bertekad untuk
memajukan wanita bangsanya, Indonesia. Dan langkah untuk memajukan itu
menurutnya bisa dicapai melalui pendidikan. Untuk merealisasikan cita-citanya
itu, dia mengawalinya dengan mendirikan sekolah untuk anak gadis di daerah
kelahirannya, Jepara. Di sekolah tersebut diajarkan pelajaran menjahit,
menyulam, memasak, dan sebagainya. Semuanya itu diberikannya tanpa memungut
bayaran alias cuma-cuma.

Berbagai rintangan tidak menyurutkan semangatnya, bahkan
pernikahan sekalipun. Setelah menikah, dia masih mendirikan sekolah di Rembang
di samping sekolah di Jepara yang sudah didirikannya sebelum menikah. Apa yang
dilakukannya dengan sekolah itu kemudian diikuti oleh wanita-wanita lainnya
dengan mendirikan ‘Sekolah Kartini’ di tempat masing-masing seperti di
Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, dan Cirebon.
Sepanjang hidupnya, Kartini sangat senang berteman. Dia
mempunyai banyak teman baik di dalam negeri maupun di Eropa khususnya dari
negeri Belanda, bangsa yang sedang menjajah Indonesia saat itu. Kepada para
sahabatnya, dia sering mencurahkan isi hatinya tentang keinginannya memajukan
wanita negerinya. Kepada teman-temannya yang orang Belanda dia sering menulis
surat yang mengungkapkan cita-citanya tersebut, tentang adanya persamaan hak
kaum wanita dan pria.
Setelah meninggalnya Kartini, surat-surat tersebut kemudian
dikumpulkan dan diterbitkan menjadi sebuah buku yang dalam bahasa Belanda
berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Apa yang
terdapat dalam buku itu sangat berpengaruh besar dalam mendorong kemajuan
wanita Indonesia karena isi tulisan tersebut telah menjadi sumber motivasi
perjuangan bagi kaum wanita Indonesia di kemudian hari.
Apa yang sudah dilakukan RA Kartini sangatlah besar
pengaruhnya kepada kebangkitan bangsa ini. Mungkin akan lebih besar dan lebih
banyak lagi yang akan dilakukannya seandainya Allah memberikan usia yang
panjang kepadanya. Namun Allah menghendaki lain, ia meninggal dunia di usia
muda, usia 25 tahun, yakni pada tanggal 17 September 1904, ketika melahirkan
putra pertamanya.
Mengingat besarnya jasa Kartini pada bangsa ini maka atas
nama negara, pemerintahan Presiden Soekarno, Presiden Pertama Republik
Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964,
tanggal 2 Mei 1964 yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan
Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk
diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari
Kartini.

Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan
pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya. Namun yang lebih ekstrim
mengatakan, masih ada pahlawan wanita lain yang lebih hebat daripada RA
Kartini. Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan
Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah. Dan
berbagai alasan lainnya.
Sedangkan mereka yang pro malah mengatakan Kartini tidak
hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita
Indonesia saja melainkan adalah tokoh nasional artinya, dengan ide dan gagasan
pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara
pikirnya sudah dalam skop nasional.
Sekalipun Sumpah Pemuda belum dicetuskan waktu itu, tapi
pikiran-pikirannya tidak terbatas pada daerah kelahiranya atau tanah Jawa saja.
Kartini sudah mencapai kedewasaan berpikir nasional sehingga nasionalismenya sudah
seperti yang dicetuskan oleh Sumpah Pemuda 1928.
Terlepas dari pro kontra tersebut, dalam sejarah bangsa ini
kita banyak mengenal nama-nama pahlawan wanita kita seperti Cut Nya’ Dhien, Cut
Mutiah, Nyi. Ageng Serang, Dewi Sartika, Nyi Ahmad Dahlan, Ny. Walandouw
Maramis, Christina Martha Tiahohu, dan lainnya.
Mereka berjuang di daerah, pada waktu, dan dengan cara yang
berbeda. Ada yang berjuang di Aceh, Jawa, Maluku, Menado dan lainnya. Ada yang
berjuang pada zaman penjajahan Belanda, pada zaman penjajahan Jepang, atau
setelah kemerdekaan. Ada yang berjuang dengan mengangkat senjata, ada yang
melalui pendidikan, ada yang melalui organisasi maupun cara lainnya. Mereka
semua adalah pejuang-pejuang bangsa, pahlawan-pahlawan bangsa yang patut kita
hormati dan teladani.
Raden Ajeng Kartini sendiri adalah pahlawan yang mengambil
tempat tersendiri di hati kita dengan segala cita-cita, tekad, dan
perbuatannya. Ide-ide besarnya telah mampu menggerakkan dan mengilhami
perjuangan kaumnya dari kebodohan yang tidak disadari pada masa lalu. Dengan
keberanian dan pengorbanan yang tulus, dia mampu menggugah kaumnya dari
belenggu diskriminasi.
Bagi wanita sendiri, dengan upaya awalnya itu kini kaum
wanita di negeri ini telah menikmati apa yang disebut persamaan hak tersebut.
Perjuangan memang belum berakhir, di era globalisasi ini masih banyak dirasakan
penindasan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan.
Itu semua adalah sisa-sisa dari kebiasaan lama yang oleh
sebagian orang baik oleh pria yang tidak rela melepaskan sifat otoriternya
maupun oleh sebagian wanita itu sendiri yang belum berani melawan kebiasaan
lama. mari kita kenang Raden Ajeng Kartini di dalam hati kita.
Raden Adjeng Kartini (lahir di Jepara), Jawa Tengah, 21 April 1879 – meninggal di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun) atau
sebenarnya lebih tepat disebut Raden
Ayu Kartini[1]
adalah seorang tokoh suku Jawa
dan Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini
dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi.
Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas
bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah
putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A.
Ngasirah, putri dari Nyai Haji
Siti Aminah dan Kyai
Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya,
silsilah Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI.

Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan
tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua.
Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun.
Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang
yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan
bersekolah di ELS (Europese
Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi
setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia
mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal
dari Belanda. Salah satunya
adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan
majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul
keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa
perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.
Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang
diasuh Pieter
Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang
diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan
dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De
Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan
tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya
tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat
catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau
mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga
masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh
kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih
luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat
Cinta karya Multatuli,
yang pada November 1901 sudah
dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya
Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de
Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van
Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen
Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.
Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M.
Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri.
Kartini menikah pada tanggal 12
November 1903. Suaminya
mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan
sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten
Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.
Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, R.M. Soesalit, lahir
pada tanggal 13 September
1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia
25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan
Bulu, Rembang.
Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah
Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta,
Malang, Madiun, Cirebon dan
daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah "Sekolah Kartini".
Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van
Deventer, seorang tokoh Politik
Etis.
Surat-surat
Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon
mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada
teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan,
Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door
Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju
Cahaya". Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak
lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.
Pada tahun 1922, Balai Pustaka
menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul yang diterjemahkan menjadi Habis
Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran, yang merupakan terjemahan oleh Empat
Saudara. Kemudian tahun 1938, keluarlah Habis Gelap
Terbitlah Terang versi Armijn Pane seorang
sastrawan Pujangga Baru. Armijn membagi buku menjadi lima bab
pembahasan untuk menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini sepanjang waktu
korespondensinya. Versi ini sempat dicetak sebanyak sebelas kali. Surat-surat Kartini
dalam bahasa Inggris juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers. Selain
itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Jawa
dan Sunda.
Terbitnya surat-surat Kartini, seorang perempuan pribumi,
sangat menarik perhatian masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini
mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa.
Pemikiran-pemikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi
inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan nasional Indonesia, antara lain W.R. Soepratman yang menciptakan lagu berjudul
Ibu Kita Kartini.
Pemikiran
Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya
tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi.
Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut
budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin
wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan
cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht,
Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit.
Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu
Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme
(peri kemanusiaan) dan Nasionalisme
(cinta tanah air).
Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh
pertolongan dari luar. Pada perkenalan dengan Estelle "Stella"
Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda
Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat,
yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan
laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.
Pandangan-pandangan kritis lain yang diungkapkan Kartini
dalam surat-suratnya adalah kritik terhadap agamanya. Ia mempertanyakan mengapa
kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia
mengungkapkan tentang pandangan bahwa dunia akan lebih damai jika tidak ada
agama yang sering menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling
menyakiti. "...Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi
berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu..." Kartini
mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki
untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang
dunianya hanya sebatas tembok rumah.
Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang
kendala-kendala yang harus dihadapi ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa
yang lebih maju. Meski memiliki seorang ayah yang tergolong maju karena telah
menyekolahkan anak-anak perempuannya meski hanya sampai umur 12 tahun, tetap
saja pintu untuk ke sana tertutup. Kartini sangat mencintai sang ayah, namun
ternyata cinta kasih terhadap sang ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi
kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah dalam surat juga
diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia disebutkan akhirnya mengizinkan
Kartini untuk belajar menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya tak
mengizinkan Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah
kedokteran di Betawi.
Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke
Eropa, memang terungkap dalam surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya
mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut. Ketika akhirnya
Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut, terungkap adanya
kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana untuk belajar ke
Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati oleh Nyonya
Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.
Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun,
niat untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah
surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia
sudah akan menikah. "...Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada
hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin..."
Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu
kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi.
Saat menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian
Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan
membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah
bagi para perempuan bumiputra kala itu. Dalam surat-suratnya, Kartini
menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung keinginannya untuk
mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra saja, tetapi juga
disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.
Perubahan pemikiran Kartini ini menyiratkan bahwa dia sudah
lebih menanggalkan egonya dan menjadi manusia yang mengutamakan transendensi,
bahwa ketika Kartini hampir mendapatkan impiannya untuk bersekolah di Betawi,
dia lebih memilih berkorban untuk mengikuti prinsip patriarki yang selama ini
ditentangnya, yakni menikah dengan Adipati Rembang.
Buku
- Habis Gelap Terbitlah Terang

Pada 1938,
buku Habis
Gelap Terbitlah Terang diterbitkan kembali dalam format yang berbeda
dengan buku-buku terjemahan dari Door Duisternis Tot Licht. Buku
terjemahan Armijn Pane ini dicetak sebanyak sebelas kali. Selain itu,
surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Armijn Pane
menyajikan surat-surat Kartini dalam format berbeda dengan buku-buku
sebelumnya. Ia membagi kumpulan surat-surat tersebut ke dalam lima bab
pembahasan. Pembagian tersebut ia lakukan untuk menunjukkan adanya tahapan atau
perubahan sikap dan pemikiran Kartini selama berkorespondensi. Pada buku versi
baru tersebut, Armijn Pane juga menciutkan jumlah surat Kartini. Hanya terdapat
87 surat Kartini dalam "Habis Gelap Terbitlah Terang". Penyebab tidak
dimuatnya keseluruhan surat yang ada dalam buku acuan Door Duisternis Tot
Licht, adalah terdapat kemiripan pada beberapa surat. Alasan lain adalah untuk
menjaga jalan cerita agar menjadi seperti roman. Menurut Armijn Pane,
surat-surat Kartini dapat dibaca sebagai sebuah roman kehidupan perempuan. Ini
pula yang menjadi salah satu penjelasan mengapa surat-surat tersebut ia bagi ke
dalam lima bab pembahasan.
- Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya
Surat-surat Kartini juga diterjemahkan oleh Sulastin Sutrisno. Pada
mulanya Sulastin menerjemahkan Door Duisternis Tot Licht di Universitas Leiden,
Belanda, saat ia melanjutkan studi di bidang sastra tahun 1972. Salah seorang dosen
pembimbing di Leiden meminta Sulastin untuk menerjemahkan buku kumpulan surat
Kartini tersebut. Tujuan sang dosen adalah agar Sulastin bisa menguasai bahasa
Belanda dengan cukup sempurna. Kemudian, pada 1979, sebuah buku berisi
terjemahan Sulastin Sutrisno versi lengkap Door Duisternis Tot Licht pun
terbit.
Buku kumpulan surat versi Sulastin Sutrisno terbit dengan
judul Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya. Menurut
Sulastin, judul terjemahan seharusnya menurut bahasa Belanda adalah:
"Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsa Jawa".
Sulastin menilai, meski tertulis Jawa, yang didamba sesungguhnya oleh Kartini
adalah kemajuan seluruh bangsa Indonesia.
Buku terjemahan Sulastin malah ingin menyajikan lengkap
surat-surat Kartini yang ada pada Door Duisternis Tot Licht. Selain
diterbitkan dalam Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya,
terjemahan Sulastin Sutrisno juga dipakai dalam buku Kartini, Surat-surat
kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan Suaminya.
- Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904
Buku lain yang berisi terjemahan surat-surat Kartini adalah Letters
from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904. Penerjemahnya adalah Joost
Coté. Ia tidak hanya menerjemahkan surat-surat yang ada dalam Door
Duisternis Tot Licht versi Abendanon. Joost Coté juga menerjemahkan
seluruh surat asli Kartini pada Nyonya Abendanon-Mandri hasil temuan terakhir.
Pada buku terjemahan Joost Coté, bisa ditemukan surat-surat yang tergolong
sensitif dan tidak ada dalam Door Duisternis Tot Licht versi Abendanon.
Menurut Joost Coté, seluruh pergulatan Kartini dan penghalangan pada dirinya
sudah saatnya untuk diungkap.
Buku Letters from Kartini, An Indonesian Feminist
1900-1904 memuat 108 surat-surat Kartini kepada Nyonya Rosa Manuela
Abendanon-Mandri dan suaminya JH Abendanon. Termasuk di dalamnya: 46 surat yang
dibuat Rukmini, Kardinah, Kartinah, dan Soematrie.
- Panggil Aku Kartini Saja

- Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya
Akhir tahun 1987, Sulastin Sutrisno
memberi gambaran baru tentang Kartini lewat buku Kartini Surat-surat kepada
Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya. Gambaran sebelumnya lebih banyak
dibentuk dari kumpulan surat yang ditulis untuk Abendanon, diterbitkan dalam Door
Duisternis Tot Licht.
Kartini dihadirkan sebagai pejuang emansipasi yang sangat
maju dalam cara berpikir dibanding perempuan-perempuan Jawa pada masanya. Dalam
surat tanggal 27 Oktober 1902, dikutip bahwa Kartini
menulis pada Nyonya Abendanon bahwa dia telah memulai pantangan makan daging,
bahkan sejak beberapa tahun sebelum surat tersebut, yang menunjukkan bahwa
Kartini adalah seorang vegetarian.[3]
Dalam kumpulan itu, surat-surat Kartini selalu dipotong bagian awal dan akhir.
Padahal, bagian itu menunjukkan kemesraan Kartini kepada Abendanon. Banyak hal
lain yang dimunculkan kembali oleh Sulastin Sutrisno.
- Aku Mau ... Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903
Sebuah buku kumpulan surat kepada Stella Zeehandelaar
periode 1899-1903 diterbitkan untuk memperingati 100 tahun wafatnya. Isinya
memperlihatkan wajah lain Kartini. Koleksi surat Kartini itu dikumpulkan Dr
Joost Coté, diterjemahkan dengan judul Aku Mau ... Feminisme dan
Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903.
"Aku Mau ..." adalah moto Kartini. Sepenggal
ungkapan itu mewakili sosok yang selama ini tak pernah dilihat dan dijadikan
bahan perbincangan. Kartini berbicara tentang banyak hal: sosial, budaya,
agama, bahkan korupsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar